Sabtu, 04 Juni 2011

Fatwa Qardhawi: Apakah Cadar Itu Bid'ah..?


Polemik tentang hukum pemakaian cadar telah lama mengemuka. Bermula dari Kairo, ketika Pengadilan Mesir memutuskan mengukuhkan larangan universitas dan kampus-kampus yang melarang para mahasiswi mengenakan cadar ketika mengikuti pelajaran maupun ujian.

Dan yang paling hangat baru-baru ini adalah keputusan pemerintah Prancis yang melarang pemakaian cadar di depan publik. Tak ayal, aturan baru ini menuai protes dan menimbulkan kontroversi hingga kini.

Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum cadar dalam Islam? Apakah bid'ah ataukah wajib? Berikut penjelasan dan fatwa Syekh Yusuf Qardhawi, Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, yang kini bermukim di Qatar.

Menurut Qardhawi, mengidentifikasi cadar sebagai bid'ah yang datang dari luar serta sama sekali bukan berasal dari agama dan bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah dan tidak tepat sasaran. "Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya," katanya.

Qardhawi mengatakan, satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah boleh membuka wajah atau wajib menutupnya—demikian pula dengan hukum kedua telapak tangan—adalah masalah yang masih diperselisihkan.

"Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fikih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang," ujarnya.

Sebab, lanjut Qardhawi, perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, karena tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya) dan dalalah (petunjuknya) mengenai masalah ini. "Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan."

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: "...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31).

Menurut Qardhawi, mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" di sini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud ialah) bagian wajah dan telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

"Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu. Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya," jelas Qardhawi.

Syekh Qardhawi mengatakan, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab: 59).

Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in—Ubaidah As-Salmani—bahwa ia menafsirkan "mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu menutup muka dan kepala, dan membuka mata yang sebelah kiri. Demikian pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Namun, kata Qardhawi, penafsiran kedua tokoh ini ditentang oleh Ikrimah, mantan budak Ibnu Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal) tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab tersebut atasnya."

Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."

"Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita Muslimah menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain," jelas Qardhawi.

Disamping itu, lanjut Qardhawi, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat dengan dirinya, misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama Al-Azhar di Mesir, ulama Zaituna di Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, kata Qardhawi, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar, karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang menentangnya. "Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz."

Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang berpendapat demikian ialah ulama besar dan dai terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la Al-Maududi dalam kitabnya Al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis kenamaan dari Suriah, DR Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu Billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping itu, kata Qardhawi, masih terus saja bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.

"Barangkali mereka memasukkan saya ke dalam kelompok ulama seperti ini," ujarnya. "Jika dijumpai diantara wanita-wanita Muslimah yang merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?"

Qardhawi menegaskan, "Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah."

Bahkan, kata Qardhawi, seandainya wanita muslimah tersebut tidak menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan khusus?

Syekh Qardhawi mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada sumber-sumber terpercaya, lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat, penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.

Boleh jadi, kata Qardhawi, karena dia bersandar pada sebagian tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.

”Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum, kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz," jelas Syekh Qardhawi.

Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang memakruhkannya pun tidak ada. Maka Qardhawi mengaku sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama Al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an, As-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.

"Kalau hal itu hanya sekadar mubah, sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula mustahab, maka merupakan hak bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang," terang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini.

Qardhawi menyitir sebuah pepatah Mesir yang menyindir orang yang bersikap demikian, "Seseorang bertopang dagu, mengapa anda kesal terhadapnya?"

Hukum buatan manusia sendiri, lanjut dia, mengakui hak-hak perseorangan ini dan melindunginya. Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi.

"Padahal pakaian tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan kaum Muslim," ujarnya.

Syekh Qardhawi mengaku heran, mengapa wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya? Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

"Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan," tandasnya.



Redaktur: cr01
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer oleh Syekh Yusuf Al-Qardhawi

STMIK AMIKOM

Sabtu, 14 Mei 2011

NUR HIKMAH: Al Imam An-Nawawi

NUR HIKMAH: Al Imam An-Nawawi: "Nasab Imam an-Nawawi Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain..."

Jumat, 11 Maret 2011

Al Imam An-Nawawi

Nasab Imam an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.

Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan Lingkungannya

Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.

Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.

Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

Pengalaman Intelektualnya

Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.

Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal.
Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.

Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi.
Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.

Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.

Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.

Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.

Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.

Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.

Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.

Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.


Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.

Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.

Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.

Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.


Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.

Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.

Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.

Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.


Wafatnya

Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus.
Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’.
Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.


(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy).
(Abu Hafshoh)

Senin, 28 Februari 2011

Imam As-Syafi'i


Nama dan Nasab

Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

Waktu dan Tempat Kelahirannya

Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah

Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya

Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”

Karangan-Karangannya

Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Sumber :

1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.